Rabu, 14 November 2012

Biografi Tokoh Sosiologi-Georg Simmel

Georg Simmel dilahirkan pada tahun 1858 di Berlin, suatu daerah dia hidup pada masa kanak-kanak, sebagai mahasiswa maupun sebagai guru besar. Orang tua Simmel adalah orang yahudi yang beragama protestan. Latar belakang ini kemudian menjadi halangan utama perkembangan karir Simmel selama hidupnya. Suasana anti Semit di Berlin tidak dapat dihindari oleh Simmel, walaupun keluarganya beragama protestan. Simmel belajar di Universitas Berlin. Di sinilah ia meraih gelar Doktor pada tahun 1881 dan mengajar di perguruan tinggi itu mulai tahun 1885 sampai tahun 1914. Sebagai gurubesar pada universitas tersebut, Simmel memberikan kuliyah-kuliyah yang sangat popular dan banyak menulis, walaupun karirnya tidak begitu berkembang oleh karena latar belakang etnik yang tidak menguntungkan pada waktu itu.
Pada tahun 1914, Simmel diangkat sebagai guru besar tetap pada Universitas Strassbourg, dengan bantuan temannya yaitu Max Weber. Simmel meninggal dunia pada tahun 1918, dengan meninggalkan karya tulis yang tersebar.
Dalam bidang sosiologi, pusat perhatiannya terarah pada proses interaksi yang dianggapnya sebagai ruang lingkup primer sosiologi dan perkembanganya. Selanjutnya ia menyelidiki masalah solidaritas dan konflik yang dikaitkanya dengan besar kecilnya kelompok.  


Pemikiran (Dyat dan Triad)
Simmel berpendapat bahwa unit terkecil dalam kehidupan manusia yang menjadi ruang lingkup perhatian sosiologi adalah dyad, yang merupakan unit atau kelompok yang terdiri dari dua orang. Contohnya adalah, suami istri, dua orang sahabat karib dan seterusnya. Dalam dyad tersebut kemungkinan besar yang terjadi adalah salah satu pihak tenggelam dalam kedudukan dan peranan pihak lain. Oleh karena dyad terdiri dari hanya dua pihak, maka tak ada pihak lain yang mungkin menengahinya, sehingga Simmel berkesimpulan, kedua pihak tersebut sebenarnya merupakan suatu kesatuan perasaan.
Dengan adanya kemungkinan bahwa dalam dyad terjadi hubungan yang sangat erat yang menyatu, maka ada pula kemungkinan terjadinya konflik atau pertikaian. Kesatuan perasaan terkadang terganggu oleh tindakan masing-masing pihak, yang mungkin mengakibatkan konflik. Ketiadaan pihak ketiga, menimbulkan situasi ketiadaan pemisah apabila terjadinya gangguan pada keserasian hubungan dalam dyad tersebut.
Apabila terjadi kehadiran pihak ketiga, maka structural dan bentuk hubungan dalam dyad akan mengalami perubahan secara mendasar. Pada umumnya, pihak ketiga melancarkan pengaruh yang sifatnya moderat. Taraf keakraban dalam dyad agak menurun. Simmel juga berpendapat bahwa dalam triad cenderung tidak stabil, oleh karena koheren terkait dengan pembentukan suatu koalisi dua pihak yang berhadapan dengan pihak lain. Dalam situasi tertentu dalam keluarga, ada kemungkinan ayah yang menjadi pihak ketiga, pada situsi lain ibulah yang menjadi pihak ketiga, dan seterusnya.
Proses deprivasi mengakibatkan terjadinya efek emosional pada diri pihak ketiga. Kalau pihak ketiga tidak mendapatkan dukungan, pihak tadi memerlukan sesuatu yang akan dapat mempertahankan kedudukannya.
Apabila terjadi koalisi yang kuat dalam suatu triad, maka bentuk interaksi mungkin mempunyai sifat sebagai dyad. Artinya, interaksi terjadi antara dua pihak, dengan satu pihak terdiri dari dua orang. Simmel pernah mengemukakan sauatu hipotesa yang menyatakan, bahwa semakin besar suatu kelompok, semakin besar pula kecenderungan terjadinya bentuk interaksi seperti dyad. Selama terjadinya proses menuju sebagaiman dyad dalam suatu kelompok besar, setiap pihak atau kategori cenderung menerima anggota-anggota yang memiliki ciri-ciri pokok sama, misalnya pola sikap tindak, kekayaan dan seterusnya. Terdapat banyak kesempatan pada pihak-pihak dalam triad untuk melaksanakan pelbagai peranan. Pemilihan peranan tertentu akan mengakibatkan konsekuensi tertentu pula. Terkadang pihak itu mengambil keuntungan dari proses pertikaian yang terjadi. Simmel menyebut keadaan seperti ini sebagai suatu tipe tertius gaudens. 


Hakikat Sosiologis Pertikaian 
Memang kadang-kadang membingungkan untuk mempermasalahkan apakah pertikaian merupakan suatu bentuk kerja sama, terlepas dari hasil atau akibatnya. Akan tetapi, apabila setiap interaksi antar manusia merupakan kerja sama, maka pertikaian harus dianggap sebagai suatu bentuk kerja sama. Pertikaian ada untuk mengatasi pelbagai dualisme yang berbeda, oleh karena merupakan salah satu cara untuk mencapai taraf keseragaman tertentu, walupun dengan cara meniadakan salah satu pihak yang bersaing.
Peranan positif dan integrative dari antagonisme terbukti dari adanya struktur-struktur yang dilandaskan pada pemisahan kelas-kelas social yang tegas. Sebagaimana halnya dalam masyarakat berkasta. Dalam keadaan manusia yang bersikap tidak acuh secara relatif bersifat terbatas. Oleh karena setiap tanggapan psikologis manusia tertuju pada setiap pihak yang mempunyai perasaan tertentu. Perasaan itulah yang menyebabkan terjadinya ketidakacuhan, dan justru hal itu yang merupakan sumber antagonisme, melindungi manusia terhadap kekuatan-kekuatan yang negative yang berasal dari pihak lain.
Apabila antagonisme tidak menghasilkan kerja sama, maka secara sosiologis antagonisme merupakan unsur yang tidak pernah tidak ada dalam kerja sama. Perananya dapat sampai pada taraf menekan semua unsure-unsur konvergensi.
Secara empiris dan rasional, manusia sebenarnya merupakan makhluk egoistis. Permusuhan secara alamiah berpasangan dengan simpati. Perhatian manusia terhadap penderitaan pihak lain hanya dapat dijelaskan berdasarkan motivasi-motivasi tertentu. Ada taraf pembudayaan spiritual yang paling tinggi, ada kemungkinan untuk mencegah pertikaian dalam hubungan akrab. Hal ini disebabkan, oleh karena dalam taraf itu terjadi penggabungan antara sikap kasih saying mutual dengan diferesiansi yang ada. 


Persaingan 
Suatu ciri yang menonjol dari persaingan adalah dalam prose situ terjadi pertikaian yang tidak langsung. Apabila satu pihak menindas musuhnya atau merugikanya secara langsung, maka tidak terjadi persaingan.
Dalam bentuknya yang murni, persaingan tidak bersifat ofensif dan desensif, oleh karena imbalan persaingan tidak berada di tangan pihak-pihak yang bersaing. Konsentrasi penuh pada tujuan, akan dapat menyerap potensi antagonistis terhadap pihak lain. Setiap pihak bersaing, tanpa menyinggung lawanya. Suatu potensi antagonisme bergerak menuju realisasi nilai-nilai objektif, dan kemenangan dalam persaingan bukan terletak pada keberhasilan untuk mengalahkan pihak lawan, akan tetapi dalam merealisasi nilai-nilai di luar itu.
Kadang-kadang proses itu terjadi dengan akibat bahwa harga diri para pesaing dan nilai objektif hasilnya di kesampingkan. Persaingan secara modern digambarkan sebagai suatu perjuangan dari semua terhadap semua, dan dari semua untuk semua. Persaingan, secara sosiologis merupakan suatu jaringan konsentrasi terhadap pikiran, perasaan dan kemauan sesama manusia. Kekuatan persaingan untuk mengadakan sosialisasi tidak hanya tampak pada bidang-bidang kehidupan publik, hal itu juga terjadi di bidang pribadi.
Solidaritas organis dan isolasi akan dibicarakan sebagai pelindung kelompok terhadap pertikaian dalam kelompok. Semakin erat hubungan dalam kelompok, semakin besar pula tantangan yang diberikan terhadap sikap tindak permusuhan. Di satu pihak kelompok dapat menanggulangi antagonisme intern, oleh karena kekuatan sintetis yang ada dapat mengahadapi kekuatan-kekuatan antithesis secara wajar. Di lain pihak, suatu kelompok yang mempunyai prinsip persatuan dan rasa kebersamaan, senantiasa terancam oleh setiap pertikaian yang terjadi dalam kelompok itu.
Dalam kelompok keagamaan, kegiatan yang dilakukan secara parallel diarahkan pada suatu tujuan yang sama bagi semua anggota kelompok. Persaingan sebenarnya tidak terjadi,oleh karena usaha untuk mencapai tujuan tidak menghalangi pihak-pihak lain. Proses ini menurut Simmel disebut persaingan pasif (esensi persaingan tidak ada, yaitu perbedaan energy individual sebagai landasan untuk menang atau kalah).
Secara formal persaingan didasarkan pada prinsip individualisme. Apabila terjadi persaingan dalam kelompok, maka hubunganya dengan prinsip social subordinasi kepentingan individual terhadap kepentingan kelompok, tidak selalu jelas. Kepentingan sosial yang murni membuat hasilnya menjadi tujuan utama, yang bagi pihak yang bersaing hanya merupakan hal yang sekunder belaka.
Sosialisme dalam artinya sebagai suatu proses kecenderungan politik-ekonomis, tidak akan dapat dipahami dengan jelas apabila proses itu tidak diakui sebagai cara kehidupan tertentu, yang mencangkup hubungan yang dikelola oleh kekuatan tertentu. 


Filsafat uang 
Menurut Simmel uang secara historis tidak hanya berfungsi untuk mengukur benda namun juga untuk mengukur manusia. Simmel secara cermat menyusun teori intinya adalah apa yang mendasari nilai objek tersebut adalah apa yang harus dikorbankan seseorang dalam mendapatkanya.
Untuk memecahkan masalah nilai uang, Simmel memberi sebuah jawaban. Uang tidak perlu memeliki nilai intrinsik (atau “nilai substansi”) untuk memastikan nilai ekonominya. Uang sudah cukup diterima oleh semua orang (atau “nilai fungsi”) sebagai satu alat tukar umum. Uang memiliki bagian-bagian pembentuknya yang bersifat “ekstra ekonomis” sebagai objek yang mempesona dan menjadi tanda pemamer kekayaan.
Simmel menunjukan dalam hal apa penyebaran uang bisa ikut berpartisipasi dalam kemunculan kebebasan individual. Sebenarnya melalui statusnya sebagai ekuivalen umum, hanya uang sajalah yang bisa dipakai untuk segala keperluan. Di sisi lain moneterisasi ekonomi memungkinkan dibebaskanya pekerjaan dari pengawasan perorangan.
Lebih dari sekedar alat tukar ekonomi, uang juga merupakan suatu intitusi. Uang tidak hanya menyangkut dua individuyang terlibat dalam pertukaran. Penggunaan uang juga akan mendukung munculnya kecenderungan psikologis yang memiliki karakteristik seperti: ketamakan, kekikiran, kesukaan berfoya-foya, kemiskinan atau kekurangan. 
Uang juga ikut berpartisipasi dalam pembentukan “gaya hidup” maasyarakat yang oleh Simmel diberikan cirri melalui tiga buah konsep, yaitu jarak, ritme dan simetri.

Sumber :  Soekanto, Soerjono. Mengenal Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta: PT.Raja Grafindo Jaya, 2002

            Giddens, Anthony. Dkk. Sosiologi, Sejarah dan Berbagai Pemikiranya. Yogyakarta: Kreasi    Wacana, 2004

Tidak ada komentar:

Posting Komentar