Georg Simmel dilahirkan pada tahun
1858 di Berlin, suatu daerah dia hidup pada masa kanak-kanak, sebagai mahasiswa
maupun sebagai guru besar. Orang tua Simmel adalah orang yahudi yang beragama
protestan. Latar belakang ini kemudian menjadi halangan utama perkembangan
karir Simmel selama hidupnya. Suasana anti Semit di Berlin tidak dapat
dihindari oleh Simmel, walaupun keluarganya beragama protestan. Simmel belajar di Universitas
Berlin. Di sinilah ia meraih gelar Doktor pada tahun 1881 dan mengajar di
perguruan tinggi itu mulai tahun 1885 sampai tahun 1914. Sebagai gurubesar pada
universitas tersebut, Simmel memberikan kuliyah-kuliyah yang sangat popular dan
banyak menulis, walaupun karirnya tidak begitu berkembang oleh karena latar
belakang etnik yang tidak menguntungkan pada waktu itu.
Pada tahun 1914, Simmel diangkat
sebagai guru besar tetap pada Universitas Strassbourg, dengan bantuan temannya
yaitu Max Weber. Simmel meninggal dunia pada tahun 1918, dengan meninggalkan
karya tulis yang tersebar.
Dalam bidang sosiologi, pusat
perhatiannya terarah pada proses interaksi yang dianggapnya sebagai ruang
lingkup primer sosiologi dan perkembanganya. Selanjutnya ia menyelidiki masalah
solidaritas dan konflik yang dikaitkanya dengan besar kecilnya kelompok.
Pemikiran (Dyat dan Triad)
Simmel berpendapat bahwa unit
terkecil dalam kehidupan manusia yang menjadi ruang lingkup perhatian sosiologi
adalah dyad, yang merupakan unit atau kelompok yang terdiri dari dua orang.
Contohnya adalah, suami istri, dua orang sahabat karib dan seterusnya. Dalam
dyad tersebut kemungkinan besar yang terjadi adalah salah satu pihak tenggelam
dalam kedudukan dan peranan pihak lain. Oleh karena dyad terdiri dari hanya dua
pihak, maka tak ada pihak lain yang mungkin menengahinya, sehingga Simmel
berkesimpulan, kedua pihak tersebut sebenarnya merupakan suatu kesatuan
perasaan.
Dengan adanya kemungkinan bahwa
dalam dyad terjadi hubungan yang sangat erat yang menyatu, maka ada pula
kemungkinan terjadinya konflik atau pertikaian. Kesatuan perasaan terkadang
terganggu oleh tindakan masing-masing pihak, yang mungkin mengakibatkan
konflik. Ketiadaan pihak ketiga, menimbulkan situasi ketiadaan pemisah apabila
terjadinya gangguan pada keserasian hubungan dalam dyad tersebut.
Apabila terjadi kehadiran pihak
ketiga, maka structural dan bentuk hubungan dalam dyad akan mengalami perubahan
secara mendasar. Pada umumnya, pihak ketiga melancarkan pengaruh yang sifatnya
moderat. Taraf keakraban dalam dyad agak menurun. Simmel juga berpendapat bahwa
dalam triad cenderung tidak stabil, oleh karena koheren terkait dengan
pembentukan suatu koalisi dua pihak yang berhadapan dengan pihak lain. Dalam
situasi tertentu dalam keluarga, ada kemungkinan ayah yang menjadi pihak
ketiga, pada situsi lain ibulah yang menjadi pihak ketiga, dan seterusnya.
Proses deprivasi mengakibatkan
terjadinya efek emosional pada diri pihak ketiga. Kalau pihak ketiga tidak
mendapatkan dukungan, pihak tadi memerlukan sesuatu yang akan dapat
mempertahankan kedudukannya.
Apabila terjadi koalisi yang kuat dalam suatu triad, maka
bentuk interaksi mungkin mempunyai sifat sebagai dyad. Artinya, interaksi
terjadi antara dua pihak, dengan satu pihak terdiri dari dua orang. Simmel
pernah mengemukakan sauatu hipotesa yang menyatakan, bahwa semakin besar suatu
kelompok, semakin besar pula kecenderungan terjadinya bentuk interaksi seperti
dyad. Selama terjadinya proses menuju sebagaiman dyad dalam suatu kelompok
besar, setiap pihak atau kategori cenderung menerima anggota-anggota yang
memiliki ciri-ciri pokok sama, misalnya pola sikap tindak, kekayaan dan
seterusnya. Terdapat banyak kesempatan pada pihak-pihak dalam triad untuk
melaksanakan pelbagai peranan. Pemilihan peranan tertentu akan mengakibatkan
konsekuensi tertentu pula. Terkadang pihak itu mengambil keuntungan dari proses
pertikaian yang terjadi. Simmel menyebut keadaan seperti ini sebagai suatu tipe
tertius gaudens.
Hakikat Sosiologis Pertikaian
Memang kadang-kadang membingungkan
untuk mempermasalahkan apakah pertikaian merupakan suatu bentuk kerja sama,
terlepas dari hasil atau akibatnya. Akan tetapi, apabila setiap interaksi antar
manusia merupakan kerja sama, maka pertikaian harus dianggap sebagai suatu
bentuk kerja sama. Pertikaian ada untuk mengatasi pelbagai dualisme yang
berbeda, oleh karena merupakan salah satu cara untuk mencapai taraf keseragaman
tertentu, walupun dengan cara meniadakan salah satu pihak yang bersaing.
Peranan positif dan integrative dari
antagonisme terbukti dari adanya struktur-struktur yang dilandaskan pada
pemisahan kelas-kelas social yang tegas. Sebagaimana halnya dalam masyarakat
berkasta. Dalam keadaan manusia yang bersikap tidak acuh secara relatif
bersifat terbatas. Oleh karena setiap tanggapan psikologis manusia tertuju pada
setiap pihak yang mempunyai perasaan tertentu. Perasaan itulah yang menyebabkan
terjadinya ketidakacuhan, dan justru hal itu yang merupakan sumber antagonisme,
melindungi manusia terhadap kekuatan-kekuatan yang negative yang berasal dari
pihak lain.
Apabila antagonisme tidak
menghasilkan kerja sama, maka secara sosiologis antagonisme merupakan unsur
yang tidak pernah tidak ada dalam kerja sama. Perananya dapat sampai pada taraf
menekan semua unsure-unsur konvergensi.
Secara empiris dan rasional, manusia
sebenarnya merupakan makhluk egoistis. Permusuhan secara alamiah berpasangan
dengan simpati. Perhatian manusia terhadap penderitaan pihak lain hanya dapat
dijelaskan berdasarkan motivasi-motivasi tertentu. Ada taraf pembudayaan spiritual
yang paling tinggi, ada kemungkinan untuk mencegah pertikaian dalam hubungan
akrab. Hal ini disebabkan, oleh karena dalam taraf itu terjadi penggabungan
antara sikap kasih saying mutual dengan diferesiansi yang ada.
Persaingan
Suatu ciri yang menonjol dari
persaingan adalah dalam prose situ terjadi pertikaian yang tidak langsung.
Apabila satu pihak menindas musuhnya atau merugikanya secara langsung, maka
tidak terjadi persaingan.
Dalam bentuknya yang murni,
persaingan tidak bersifat ofensif dan desensif, oleh karena imbalan persaingan
tidak berada di tangan pihak-pihak yang bersaing. Konsentrasi penuh pada
tujuan, akan dapat menyerap potensi antagonistis terhadap pihak lain. Setiap
pihak bersaing, tanpa menyinggung lawanya. Suatu potensi antagonisme bergerak
menuju realisasi nilai-nilai objektif, dan kemenangan dalam persaingan bukan
terletak pada keberhasilan untuk mengalahkan pihak lawan, akan tetapi dalam
merealisasi nilai-nilai di luar itu.
Kadang-kadang proses itu terjadi
dengan akibat bahwa harga diri para pesaing dan nilai objektif hasilnya di
kesampingkan. Persaingan secara modern digambarkan sebagai suatu perjuangan
dari semua terhadap semua, dan dari semua untuk semua. Persaingan, secara
sosiologis merupakan suatu jaringan konsentrasi terhadap pikiran, perasaan dan
kemauan sesama manusia. Kekuatan persaingan untuk mengadakan sosialisasi tidak
hanya tampak pada bidang-bidang kehidupan publik, hal itu juga terjadi di
bidang pribadi.
Solidaritas organis dan isolasi akan
dibicarakan sebagai pelindung kelompok terhadap pertikaian dalam kelompok.
Semakin erat hubungan dalam kelompok, semakin besar pula tantangan yang
diberikan terhadap sikap tindak permusuhan. Di satu pihak kelompok dapat
menanggulangi antagonisme intern, oleh karena kekuatan sintetis yang ada dapat
mengahadapi kekuatan-kekuatan antithesis secara wajar. Di lain pihak, suatu
kelompok yang mempunyai prinsip persatuan dan rasa kebersamaan, senantiasa
terancam oleh setiap pertikaian yang terjadi dalam kelompok itu.
Dalam kelompok keagamaan, kegiatan
yang dilakukan secara parallel diarahkan pada suatu tujuan yang sama bagi semua
anggota kelompok. Persaingan sebenarnya tidak terjadi,oleh karena usaha untuk
mencapai tujuan tidak menghalangi pihak-pihak lain. Proses ini menurut Simmel
disebut persaingan pasif (esensi persaingan tidak ada, yaitu perbedaan energy
individual sebagai landasan untuk menang atau kalah).
Secara formal persaingan didasarkan pada prinsip
individualisme. Apabila terjadi persaingan dalam kelompok, maka hubunganya
dengan prinsip social subordinasi kepentingan individual terhadap kepentingan
kelompok, tidak selalu jelas. Kepentingan sosial yang murni membuat hasilnya
menjadi tujuan utama, yang bagi pihak yang bersaing hanya merupakan hal yang
sekunder belaka.Sosialisme dalam artinya sebagai suatu proses kecenderungan politik-ekonomis, tidak akan dapat dipahami dengan jelas apabila proses itu tidak diakui sebagai cara kehidupan tertentu, yang mencangkup hubungan yang dikelola oleh kekuatan tertentu.
Filsafat uang
Menurut Simmel uang secara historis tidak hanya berfungsi untuk mengukur benda namun juga untuk mengukur manusia. Simmel secara cermat menyusun teori intinya adalah apa yang mendasari nilai objek tersebut adalah apa yang harus dikorbankan seseorang dalam mendapatkanya.
Untuk memecahkan masalah nilai uang, Simmel memberi sebuah jawaban. Uang tidak perlu memeliki nilai intrinsik (atau “nilai substansi”) untuk memastikan nilai ekonominya. Uang sudah cukup diterima oleh semua orang (atau “nilai fungsi”) sebagai satu alat tukar umum. Uang memiliki bagian-bagian pembentuknya yang bersifat “ekstra ekonomis” sebagai objek yang mempesona dan menjadi tanda pemamer kekayaan.
Simmel menunjukan dalam hal apa penyebaran uang bisa ikut berpartisipasi dalam kemunculan kebebasan individual. Sebenarnya melalui statusnya sebagai ekuivalen umum, hanya uang sajalah yang bisa dipakai untuk segala keperluan. Di sisi lain moneterisasi ekonomi memungkinkan dibebaskanya pekerjaan dari pengawasan perorangan.
Lebih dari sekedar alat tukar ekonomi, uang juga merupakan suatu intitusi. Uang tidak hanya menyangkut dua individuyang terlibat dalam pertukaran. Penggunaan uang juga akan mendukung munculnya kecenderungan psikologis yang memiliki karakteristik seperti: ketamakan, kekikiran, kesukaan berfoya-foya, kemiskinan atau kekurangan.
Uang juga ikut berpartisipasi dalam pembentukan “gaya hidup” maasyarakat yang oleh Simmel diberikan cirri melalui tiga buah konsep, yaitu jarak, ritme dan simetri.
Sumber : Soekanto, Soerjono. Mengenal
Tujuh Tokoh Sosiologi. Jakarta: PT.Raja Grafindo Jaya, 2002
Giddens, Anthony. Dkk. Sosiologi,
Sejarah dan Berbagai Pemikiranya. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004