Jumat, 19 Oktober 2012

Biografi Tokoh Sosiologi-Emile Durkheim


Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis 15 April 1858. Ia keturunan pendeta Yahudi dan ia sendiri belajar untuk menjadi pendeta (rabbi). Tetapi, ketika berumur 10 tahun ia menolak menjadi pendeta. Sejak itu perhatiannya terhadap agama lebih bersifat akademis ketimbang teologis (Mestrovic, 1988). Ia bukan hanya kecewa terhadap pendidikan agama, tetapi juga pendidikan masalah kesusastraan dan estetika. Ia juga mendalami metodologi ilmiah dan prinsip moral yang diperlukan untuk menuntun kehidupan sosial. Ia menolak karir tradisional dalam filsafat dan berupaya mendapatkan pendidikan ilmiah yang dapat disumbangkan untuk pedoman moral masyarakat. Meski kita tertarik pada sosiologi ilmiah tetapi waktu itu belum ada bidang studi sosiologi sehingga antara 1882-1887 ia mengajar filsafat di sejumlah sekolah di Paris.
Hasratnya terhadap ilmu makin besar ketika dalam perjalanannya ke Jerman ia berkenalan dengan psikologi ilmiah yang dirintis oleh Wilhelm Wundt (Durkheim, 1887/1993). Beberapa tahun sesudah kunjungannya ke Jerman, Durkheim menerbitkan sejumlah buku diantaranya adalah tentang pengalamannya selama di Jerman (R. Jones, 1994). Penerbitan buku itu membantu Durkheim mendapatkan jabatan di Jurusan Filsafat Universitas Bordeaux tahun 1887. DI sinilah Durkheim pertama kali memberikan kuliah ilmu sosial di Universitas Perancis. Ini adalah sebuah prestasi istimewa karena hanya berjarak satu dekade sebelumnya kehebohan meledak di Universitas Perancis karena nama Auguste Comte muncul dalam disertasi seorang mahasiswa. Tanggung jawab utama Durkheim adalah mengajarkan pedagogik di sekolah pengajar dan kuliahnya yang terpenting adalah di bidang pendidikan moral. Tujuan instruksional umum mata kuliahnya adalah akan diteruskan kepada anak-anak muda dalam rangka membantu menanggulangi kemerosotan moral yang dilihatnya terjadi di tengah masyarakat Perancis.
Tahun-tahun berikutnya ditandai oleh serentetan kesuksesan pribadi. Tahun 1893 ia menerbitkan tesis doktornya, The Devision of Labor in Society dalam bahasa Perancis dan tesisnya tentang Montesquieu dalam bahasa Latin (W. Miller, 1993). Buku metodologi utamanya, The Rules of Sociological Method, terbit tahun 1895 diikuti (tahun 1897) oleh hasil penelitian empiris bukunya itu dalam studi tentang bunuh diri. Sekitar tahun 1896 ia menjadi profesor penuh di Universitas Bordeaux. Tahun 1902 ia mendapat kehormatan mengajar di Universitas di Perancis yang terkenal, Sorbonne, dan tahun 1906 ia menjadi profesor ilmu sangat terkenal lainnya, The Elementary Forins of Religious Life, diterbitkan pada tahun 1912. Kini Durkheim sering dianggap menganut pemikiran politik konservatif dan pengaruhnya dalam kajian sosiologi jelas bersifat konservatif pula. Tetapi dimasa hidupnya ia dianggap berpikiran liberal dan ini ditunjukkan oleh peran publik aktif yang dimainkannya dalam membela Alfred Drewfus, seorang kapten tentara Yahudi yang dijatuhi hukuman mati karena penghianatan yang oleh banyak orang dirasakan bermotif anti-yahudi (Farrel, 1997).
Durkheim merasa sangat terluka oleh kasus Dreyfus itu, terutama oleh pandangan anti-Yahudi yang melatarbelakangi pengadilannya. Namun Durkheim tidak mengaitkan pandangan anti-Yahudi ini dengan rasialisme di kalangan rakyat Perancis. Secara luas ia melihatnya sebagai gejala penyakit moral yang dihadapi masyarakat Perancis sebagai keseluruhan (Bimbaum dan Todd, 1995). Ia berkata :
Bila masyarakat mengalami penderitaan maka perlu menemukan seorang yang dapat dianggap bertanggung jawab atas penderitaannya itu. Orang yang dapat dijadikan sebagai sasaran pembalasan dendam atas kemalangannya itu, dan orang yang menentang pendapat umum yang diskriminatif, biasanya ditunjuk sebagai kambing hitam yang akan dijadikan korban. Yang meyakinkan saya dalam penafsiran ini adalah cara-cara masyarakat menyambut hasil pengadilan Dreyfus 1894. keriangan meluap di jalan raya.  Rakyat merayakan kemenangan atas apa yang telah dianggap sebagai penyebab penderitaan umum. Sekurang-kurangnya mereka tahu siapa yang harus disalahkan atas kesulitan ekonomi dan kebejatan moral yang terjadi dalam masyarakat mereka; kesusahan itu berasal dari Yahudi. Melalui fakta ini juga segala sesuatu telah dilihat menjadi bertambah baik dan rakyat merasa terhibur (Lukes, 1972:345).
Perhatian Durkheim terhadap perkara Dreyfus berasal dari perhatiannya yang mendalam seumur hidupnya terhadap moralitas modern. Menurut Durkheim, jawaban atas perkara Dreyfus dan krisis moral seperti itu terletak di akhir kekacauan moral dalam masyarakat. Karena perbaikan moral itu tak dapat dilakukan secara cepat dan mudah, Durkheim menyarankan tindakan yang lebih khusus, seperti menindak tegas orang yang mengorbankan rasa benci terhadap orang lain dan pemerintah harus berupaya menunjukkan kepada publik bahwa menyebarkan rasa kebendaan itu adalah perbuatan menyesatkan dan terkutuk. Ia mendesak rakyat agar “mempunyai keberanian untuk secara lantang menyatakan apa yang mereka pikirkan dan bersatu untuk mencapai kemenangan dalam perjuangan menentang kegilaan publik (Lukas, 1972:347).
Tetapi minat Durkheim terhadap sosialisme juga dijadikan bukti bahwa ia menentang pemikiran yang menganggapnya seorang konservatif, meski jenis pemikiran sosialismenya sangat berbeda dengan pemikiran Marx dan pengikutnya. Durkheim sebenarnya menamakan Marxisme sebagai “seperangkat hipotesis yang dapat dibantah dan ketinggalan zaman” (Lukes, 1972:323). Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan gerakan yang diarahkan pada pembaharuan moral masyarakat melalui moralitas ilmiah dan ia tak tertarik pada metode politik jangka pendek atau pada aspek ekonomi dari sosialisme. Ia tak melihat proletariat sebagai penyelamat masyarakat dan ia sangat menentang agitasi atau tindak kekerasan. Menurut Durkheim, sosialisme mencerminkan sebuah sistem dimana didalamnya prinsip moral ditemukan melalui studi sosiologi ilmiah di tempat prinsip moral itu diterapkan.
Durkheim berpengaruh besar dalam pembangunan sosiologi, tetapi pengaruhnya tak hanya terbatas di bidang sosiologi saja. Sebagian besar pengaruhnya terhadap bidang lain tersalur melalui jurnal L’annee Sociologique yang didirikannya tahun 1898. Sebuah lingkaran intelektual muncul sekeliling jurnal itu dan Durkheim berada dipusatnya. Melalui jurnal itu, Durkheim dan gagasannya mempengaruhi berbagai bidang seperti antropologi, sejarah, bahasa dan psikologi yang agak ironis, mengingat serangannya terhadap bidang psikologi.
Durkheim meninggal pada 15 November 1917 sebagai seorang tokoh intelektual Perancis tersohor. Tetapi, karya Durkheim mulai memengaruhi sosiologi Amerika dua puluh tahun sesudah kematiannya, yakni setelah terbitnya The Structure of Social Action (1973) karya Talcott Parsons.

Biografi Tokoh Sosiologi-Herbert Spencer


Spencer lahir di Derby, Inggris 27 April 1820. Ia tak belajar seni dan humaniora, tetapi di bidang teknik dan bidang- bidang utilitarian. Tahun 1853 Spencer menerima harta warisan yang memungkinkannya berhenti bekerja dan menjalani sisa hidupnya sebagai seorang sarjana bebas. Ia tak pernah memperoleh gelar kesarjanaan universitas atau memangku jabatan akademis. Karena ia makin menutup diri, dan penyakit fisik dan mentalnya makin parah, produktivitasnya selaku sarjana makin menurun. Akhirnya Spencer mulai mencapai kemasyhuran tak hanya di Inggris tetapi juga reputasi internasional. Richard Hofstadter mengatakan, “Selama tiga dekade sesudah perang saudara, orang tak mungkin aktif berkarya di bidang intelektual apapun tanpa menguasai (perkiraan) Spencer.” (1959:33).bidang utilitarian. Tahun 1837 ia mulai bekerja sebagai insinyur sipil jalan kereta api, jabatan yang dipegangnya hingga tahun 1846. Selama periode ini Spencer melanjutkan studi atas biaya sendiri dan mulai menerbitkan karya ilmiah dan politik. Tahun 1848 Spencer ditunjuk sebagai redaktur The Economist dan gagasan intelektualnya mulai mantap. Tahun 1850 ia menyelesaikan karya besar pertamanya, Social Statics. Selama menulis karya ini Spencer untuk pertama kali mulai mengalami insomnia (tak bisa tidur) dan dalam beberapa tahun berikutnya masalah mental dam fisiknya ini terus meningkat. Ia menderita gangguan saraf sepanjang sisa hidupnya.
Guru yang tercinta… Anda menemuiku tiap hari dalam pikiranku dan terus-menerus muncul pertanyaan “mengapa”, mengapa dia harus berbohong? Mengapa dia harus pergi?…. Dunia tak menyadari keistimewaan pemikirannya… namun suatu hari nanti dunia akan menyadari ajarannya dan akan menghormati Spencer sebagai manusia besar (Carnegie, dikutip dalam Peel, 1971:2).
Namun, nasib Spencer ternyata tak seperti itu. Salah satu watak Spencer paling menarik yang menjadi penyebab kerusakan intelektualnya adalah keengganannya membaca buku orang lain. Dalam hal ini ia sama dengan tokoh sosiologi awal Auguste Comte yang juga mengalami gangguan otak. Mengenai keengganannya membaca buku orang lain itu, Spencer berkata : “Aku telah menjadi pemikir sepanjang hidupku, bukan menjadi pembaca, aku sependapat dengan yang dikatakan Hobbes bahwa jika aku membaca sebanyak yang dibaca orang lain, aku hanya akan mengetahui sedikit yang mereka ketahui itu” (Wiltshire, 1978:67). Temannya pernah meminta pendapatnya buku, dan “jawabannya adalah bila membaca buku ia melihat asumsi fundamental buku itu keliru dan karena itulah ia tak mau membaca buku” (Wiltshire, 1978:67). Seorang pengarang menulis tentang “cara Spencer dalam menyerap pengetahuan melalui kekuatan kulitnya…ia rupanya tak pernah membaca buku” (Wiltshire, 1978:67)
Bila tak pernah membaca karya sarjana lain, lalu darimana gagasan dan pemahaman Spencer berasal. Menurut Spencer, ide-idenya muncul tanpa sengaja dan secara intiutif dari pikirannya. Ia mengatakan bahwa gagasannya muncul “sedikit demi sedikit, secara rendah hati tanpa disengaja atau tanpa upaya yang keras” (Wiltshire, 1978:66). Institusi seperti itu dianggap Spencer jauh lebih efektif ketimbang upaya berpikir dan belajar tekun : “Pemecahan yang dicapai melalui cara yang dilukiskan itu mungkin lebih benar ketimbang yang dicapai pemikiran” (Wiltshire, 1978:66).
Spencer menderita karena enggan membaca secara serius karya orang lain. Sebenarnya, jika ia membaca karya orang lain, itu dilakukannya hanya sekedar untuk menemukan pembenaran pendapatnya sendiri. Ia mengabaikan gagasan orang lain yang tak mengakui gagasannya. Demikianlah, Charles Darwin, pakar sezamannya, berkata tentang Spencer, “Jika ia mati melatih dirinya untuk mengamati lebih banyak, dengan risiko kehilangan sebagian dari kekuatan berpikirnya sekalipun, tentulah ia telah menjadi seorang manusia yang sangat hebat” (Wiltshire, 1978:70) pengabaian Spencer terhadap aturan ilmu pengetahuan menyebabkan ia membuat serentetan gagasan kasar dan pernyataan yang belum dibuktikan  kebenarannya mengenai evolusi kehidupan manusia. Karena itulah sosiolog abad 20 menolak gagasan Spencer dan riset empiris yang tekun. Spencer meninggal 8 Desember 1903.

Biografi Tokoh Sosiologi-Auguste Comte

Auguste Comte lahir di Mountpelier, Prancis, 19 Januari 1798 (Pickering, 1993:7). Orang tuanya berstatus kelas menengah dan ayahnya kemudian menjadi pejabat lokal kantor pajak. Meski tergolong cepat menjadi mahasiswa, ia tak pernah mendapat ijazah perguruan tinggi. 
 Dalam setiap kelasnya di Eole Polytecnique, Comte bersama seluruh kelasnya dikeluarkan karena gagasan plitik dan pemberontakan yang mereka lakukan. Pemecatan ini berpengaruh buruk terhadap karir akademis Comte. Tahun 1817 ia menjadi sekretaris (dan menjadi anak angkat) Saint-Simon, filsuf yang 40 tahun lebih tua.
Mereka bekerja bersama secara akrab selama beberapa tahun dan Comte menyatakan utang budinya kepada Saint-Simon: “Aku secara intelektual sangat berhutang budi kepada Saint-Simon….ia memberikan dorongan sangat besar kepadaku tentang studi filsafat yang memungkinkan diriku menciptakan pemikiran filsafatku sendiri dan yang akan aku ikuti tanpa ragu selama hidupku.” (Durkheim, 1928-1962:144).
Tetapi tahun 1824 keduanya bersengketa karena Comte yakin Saint-Simon menghapus namanya dari salah satu karya sumbangannya. Comte kemudian menyurati teman-temannya sambil menuduh Saint-Simon bersifat “Katastropik” (Pickering, 1993:238) dan melukiskan Saint-Simon sebagai “pelukis besar” (Durkheim, 1928/1962:144). Tahun 1852 Comte berkata tentang Saint-Simon: “Aku tak berhutang apa pun pada tokoh terkemuka itu.” (Pickering, 1993:240). Heilborn (1995) melukiskan Comte sebagai orang yang pendek (sekitar 5 kaki lebih 2 inci), bermata agak juling dan sangat gelisah dalam pergaulan terutama di tengah lingkungan wanita. Ia juga terasing dari pergaulan bermasyarakat.
Fakta ini membantu menjelaskan mengapa Comte mengawini Caroline Massin, seorang pelacur miskin. Perkawinannya berlangsung dari 1825 hingga 1841. kegelisahan pribadinya bertolak belakang dengan keyakinannya yang sangat besar terhadap kapasitas intelektualnya dan keyakinannya itu seolah-olah mencerminkan kepecayaan diri yang mantap.
Comte terkenal mempunyai daya ingat luar biasa. Berkat daya ingatnya yang seperti fotografi itu, ia mampu menceritakan kembali kata-kata yang tertulis di satu halaman buku yang hanya sekali saja dibaca. Kemampuan berkosentrasinya sedemikian rupa sehingga ia mampu mengungkapkan keseluruhan isi sebuah buku yang akan ditulisnya tanpa harus menulisnya. Kuliahnya seluruhnya disajikan tanpa berbekal catatan. Bila ia duduk untuk untuk menulis buku, ia menuliskan segalanya dari ingatannya (Schweber, 1991:134).
Tahun 1826 Comte membuat sebuah catatan-catatan yang kemudian menjadi bahan kuliah (ceramah) umum sebanyak tujuh puluh dua kali tentang pemikiran filsafatnya. Ceramah itu dilakukan di rumahnya sendiri. Kuliahnya itu menarik minat kalangan orang terpandang. Tetapi setelah berjalan tiga kali, kuliah terhenti karena Comte mengalami gangguan syaraf. Sejak itu terus terserang gangguan mental dan suatu ketika di tahun 1827 ia mencoba bunuh diri dengan mencebur ke Sungai Saine. Untunganya ia selamat.
Meski tak mendapatkan jabatan resmi di Ecole Polytechnique, ia diberi jabatan kecil sebagai asisten dosen pada 1932. tahun 1837 ia diberi pekerjaan tambahan, hak untuk menguji, dan jabatan inilah yang untuk pertama kali yang memberinya penghasilan yang memadai. (hingga waktu itu secara ekonomis ia sering tergantung pada bantuan keluarganya). Selama periode ini Comte berkonsentrasi menulis 6 jilid buku yang membuatnya sangat terkenal, berjudul Cour de Philosophie Positive, yang akhirnyaditerbitkan secara utuh pada 1842 (jilid pertama telah diterbitkan tahun 1830).
Dalam karyanya itu Comte melukiskan pemikiran filsafatnya bahwa sosiologi adalah ultimate science. Ia pun menyerang Ecole Polytechnique dan akibatnya pada 1844, jabatan asisten dosennya tak diperpanjang. Sekitar tahun 1851 ia menyelesaikan 5 jilid karyanya yang berjudul System de Politique Positive, yang mengandung pemikiran lebih praktis dan menawarkan rencana besar untuk mereorganisasi masyarakat.
Heibron menyatakan bahwa gangguan mental besar dalam kehidupan Comte terjadi tahun 1838, dan itulah yang membuatnya kemudian putus asa karena membayangkan ada orang yang secara serius hendak merampas karyanya tentang ilmu pengetahuan umurnya dan sosiologi khususnya. Ini pula yang menyebabkannya mengalami gangguan otak, yakni Comte mulai tak mau membaca karya orang lain.
Akibatnya, ia tak dapat mengkuti perkembangan intelektual terakhir. Baru sesudah tahun 1838 ia mulai membangun gagasan aneh tentang reformasi social yang menemukan pengungkapannya dalam System de Polytique Positive. Comte mengkhayalkan dirinya sebagai pendeta agama baru kemanusiaan. Ia yakin bahwa kehidupan di dunia ini akhirnya akan dipimpin oleh pendeta sosiolog (Comte sangat dipengaruhi oleh latar belakang agama Katoliknya). Yang sangat menarik, meski gagasannya itu keterlaluan, Comte akhirnya mendapat sejumlah besar pengikut di Perancir dan di beberapa negara lain. Comte meninggal 5 September 1857.